MEDIANUSANTARA.ID—Persoalan
pencurian laptop yang melibatkan tiga orang pelajar di SMAN 1 Madapangga,
Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, menjadi perhatian lembaga bantuan hukum
dan praktisi hukum lainnya di NTB. Pasalnya, tiga orang pelajar asal sekolah tersebut,
menjadi tersangka dan telah ditahan oleh penyidik Polsek Madapangga.
Meski ketiga pelajar itu akan menghadapi
persiapan Ujian Nasional (UN) di SMAN 1 Madapangga, namun penyidik Reskrim
Polsek Madapangga, terkesan belum mengambil langkah diversi yakni melakukan
pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di
luar peradilan pidana. Hal tersebut diketahui bahwa ketiga pelajar saat ini
dilanjutkan penahan di Mapolres Bima Kabupaten, setelah empat hari ditahan di
Mapolsek Madapangga.
Ketua DPC Ikatan Advokat Indonesia
(IKADIN) Kota Bima Syarifudin Lakuy SH, menyampaikan rasa prihatin atas
penahanan ketiga pelajar tersebut, apalagi mereka masih dibawah umur sehingga
wajib dilaksanakan diversi.
Menurut Syarif, diversi wajib
dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan itu diancam dengan pidana
penjara di bawah 7 (tujuh) tahun, dan bukan merupakan pengulangan tindak
pidana.
Ini artinya merujuk pada syarat mengenai
ancaman pidana dalam pelaksanaan diversi dan penahanan, bagi anak yang
terhadapnya dilakukan diversi, terhadapnya tidak dilakukan penahanan.
Syarif menjelaskan soal diversi
sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). UU SPPA secara
substansial telah mengatur secara tegas mengenai keadilan
restoratif. Karena diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan
menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, dan diharapkan anak dapat kembali
ke dalam lingkungan sosial secara wajar.
Diversi secara tegas disebut
dalam Pasal 5 ayat (3) bahwa dalam sistem peradilan pidana anak wajib
diupayakan diversi. Pasal 8 ayat (1) UU SPPA juga telah mengatur
bahwa proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan
orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing
kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan
restoratif.
Langkah ini bertujuan untuk mencapai
perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses
peradilan, menghidarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat
untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. (Pasal 6
UU SPPA). "Ini semua sudah diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana
Anak," tandas Syarif.
Kemudian, lanjut Syarif, mengenai
penangkapan, perlu diketahui bahwa hak anak dalam suatu proses peradilan pidana
itu salah satunya adalah tidak ditangkap, ditahan, atau
dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling
singkat sebagaimana disebut dalam Pasal 3 huruf g UU SPPA.
"Jadi, sudah merupakan hak setiap
anak yang berada dalam suatu proses peradilan pidana untuk tidak ditahan
kecuali penahanan itu merupakan upaya terakhir," jelasnya.
Terkait soal konsep penahanan terhadap
anak, Syarif mengatakan, penahanan terhadap anak tidak boleh dilakukan dalam
hal anak memperoleh jaminan dari orang tua/wali dan/atau lembaga bahwa anak
tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti,
dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana. Demikian yang disebut
dalam Pasal 32 ayat (1) UU SPPA.
Syarif menambahkan, hal lainnya yang
dapat saja terjadi sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 3 Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak (PERMA 4/2014), hakim anak wajib mengupayakan
diversi dalam hal anak didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan didakwa pula dengan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk
surat dakwaan subsidaritas, alternatif, kumulatif, maupun kombinasi (gabungan).
Ia mencontohkan, misalnya dakwaan
subsidaritas Primair: Pasal 354 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) (ancaman penjara 8 tahun), Subsidair: Pasal 351 ayat
(2) KUHP (ancaman penjara 5 tahun), Lebih Subsidair: Pasal 351 ayat (1) KUHP
(ancaman penjara 2 tahun 8 bulan).
Ditanya bagaimana dengan penahanannya?.
Kata Syarif, pasal yang didakwakan memenuhi syarat penahanan, sedangkan di sisi
lain diversi wajib dilaksanakan. Hal seperti ini tidak diatur lebih lanjut
didalam PERMA. Namun demikian, karena diversi wajib dilaksanakan, maka dalam
pemeriksaan di persidangan hakim dapat menggunakan kewenangannya untuk tidak
melakukan penahanan terhadap anak.
"Dasar hukum ini yakni
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, dan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak," terangnya.
"Pertanyaannya, sudahkan penyidik
Polsek Madapangan melakukan diversi, sehingga
ketiga pelajar saat ini dilanjutkan penahanan di Mapolres Bima,"
tanya Syarif.
"Apalagi dalam kasus tersebut
mereka (pelajar) dijerat dengan pasal 363 ayat 1 ke 3,4,5 KUHP. Apa saat di
BAP, penyidik sudah menunjuk lembaga bantuan hukum atau pengacara untuk
mendapingi mereka saat itu," lanjutnya.
Melihat perkembangan penanganan persoalan
ini, Ketua DPC Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) Kota Bima ini, akan melakukan
langkah Praperadilan. "Kita lihat nanti," tandasnya.(adi)