MEDIANUSANTARA.ID—Jagung menjadi komoditi
unggulan bagi petani khususnya di Kabupaten Bima maupun Dompu Provinsi Nusa
Tenggara Barat (NTB). Menanam jagung, pun dinilai tak begitu repot dibanding menanam
kedelai. Apalagi nilai jual di tingkat pasaran ekonomi, harga jagung terus
melambung dan dapat memberikan harapan perubahan bagi hidup petani.
Kendati musim tanam
pertama (musim hujan-MH) sudah lewat—bagi petani, menanam jagung pada musim
kemarau (MK-I) saat ini, sangatlah tepat terutama pada lahan sawah yang
memiliki sumur bor.
Beragam benih jagung
unggulan, juga menjadi daya tarik petani. Ada yang berbuah satu ukuran besar,
hingga bertongkol dua. Jika petani pun menggunakan benih bertongkol dua, maka
lahan satu hektar akan menjadi dua hektar. Ini dihitung berdasarkan satu tangkai
jagung bertongkol dua yang berarti bisa dua kali lipat—dari satu hektar menjadi
dua hektar (berdasarkan buah jagung).
Bagi petani,
menanam jagung jenis hibrida tidaklah rugi. Paling tidak yang dihadapi hanyalah
harga jual (naik turun) dan serangan jenis hama penyakit maupun bencana alam. Sedangkan
secara nasional, kebutuhan jagung saat ini semakin meningkat. Hingga harga
pembelian di tingkat petani terus naik menyusul kebutuhan pakan ternak maupun
lainnya yang bersumber dari bahan baku jagung bersifat mendesak mendesak.
Hasil survey yang
dilakukan melalui program Pisagro di Kabupaten Dompu dan Bima, rata-rata hasil panen petani jagung yang
didapatkan dalam 1 hektar minimal 9 ton. Dengan harga jual kering di tingkat
pengecer/agen/tengkulak senilai Rp3.500 per kilogram—dan harga pembelian gudang
Rp3.700 per kilogram.
Jika dihitung
rata-rata hasil panen sebanyak 9 ton per hektar—dengan harga jual Rp3.500 per
kilogram, maka petani mendapat keuntungan kotor sebesar Rp31.500.000. Kemudian,
bila dikurangi pengeluaran biaya mulai dari awal persiapan sebelum tanam hingga
masa panen rata-rata Rp10.000.000 per hektar—maka keuntungan bersih petani jagung
dalam 1 hektar sebesar Rp20.000.000.
Survey yang
dilakukan selama dua minggu, sejak April 2017 kemarin—rata-rata pengeluaran dari
Rp10.000.000 dimaksud, meliputi pembelian benih jagung hibrida (20 kg/Ha), ongkos
pengolahan lahan sebelum tanam (20 pekerja), biaya tanam (12 pekerja), biaya penyemprotan
dan obat-obatan (15 liter), pupuk (Urea, NPK dan Poska) rata-rata 500 kilogram
per hektar, pembelian terpal, karung, tali ukur dan jaring, biaya panen (10
pekerja) serta ongkos giling.
Di Kabupaten
Dompu misalnya. Petani setempat rata-rata memiliki lahan yang ditanami jagung
hibrida minimal 2 hektar—baik sebagai status tanah pemilik, penggarap maupun tanah
sewah.
Adapun wilayah sasaran yang menjadi sasaran responden langsung dari kelompok tani jagung Pisagro,
meliputi Desa Cempi Jaya Kecamatan Hu’u, Desa Mumbu—Saneo—Madaparama Kecamatan
Woja, Desa Mangge Na’e Kecamatan Dompu, Desa Banggo Kecamatan Manggelewa, Desa
Ta’a Kecamatan Kempo, Desa Mbuju I dan II Kecamatan Kilo.
Sedangkan di
Kabupaten Bima, meliputi Desa Sandue Kecamatan Sanggar, Desa Palama Kecamatan
Donggo, Desa Nggembe Kecamatan Bolo, Monta Dalam Kecamatan Monta dan wilayah
Kecamatan Wawo. Survey tersebut juga memiliki kategori responden dengan jumlah
100 orang petani jagung.
Tingginya animo masyarakat
menjadi petani jagung, dapat dilihat dari hasil pengalaman sebelumnya. Lahan
tadah hujan yang biasa ditanami kacang kedelai, kini menjadi hamparan tanaman jagung sejauh mata
memandang. Bahkan tanah sawah memasuki musim tanam MK I, pun ditanami jagung
hibrida dengan mengadalkan air dari sumur bor. Sehingga jagung belakangan ini
menjadi komoditi andalan yang dapat meningkatkan ekonomi masyarakat khususnya petani
jagung di Dompu-Bima Provinsi NTB. Apalagi ditambah adanya dukungan pinjaman modal dengan bungan ringan melalui Program Pisagro yang bekerjasama dengan Bank Pesisir Akbar, sangat membantu petani jagung untuk bisa memperluas lahan untuk ditanamin jagung Hibrida jenis NK7328 Sygenta.(adi)