Syarifuddin Lakuy SH | Doc.MN | |
|
BIMA - NTB |
Sidang lanjutan kasus persetubuhan anak di bawah umur oleh terdakwa IS (45)
terhadap Melati (bukan nama asli), direncanakan dilaksanakan pada hari Rabu,
tanggal 26 Januari 2022 besok. Kasus tersebut sudah melewati dua kali sidang
oleh Pengadilan Negeri (PN) Raba Bima.
Namun ditengah bergulirnya sidang
penanganan kasus itu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Raba Bima kerap mendapat “tekanan”
pasca dibacakan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Raba Bima pada masa
sidang sebelumnya.
Dimana pada masa sidang itu, terdakwa IS
(45) dituntut 7 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Raba Bima
dihadapan Majelis Hakim PN Raba Bima.
Diketahui tuntutan 7 tahun penjara oleh
JPU Raba Bima, muncul pergerakan dari beberapa orang mahasiswa dengan melakukan
aksi demo di depan Kantor Pengadilan Negeri Raba Bima dan menekan Majelis Hakim
agar menjatuhkan vonis kepada terdakwa seberat-beratnya.
Namun ditengah bergulinya penanganan
kasus tersebut, salah satu pemerhati hukum di Kota Mataram Syarifuddin Lakuy SH
menilai bahwa didalam penanganan perkara dan dalam bentuk apapun putusannya,
majelis hakim tidak bisa ditekan dan diintervensi oleh pihak manapun.
"Sampai hari ini dan apapun
bentuknya, majelis hakim tidak bisa diintervensi dan goyah dalam tekanan
apapun. Dia bekerja berdasarkan hukum. Saya tidak pernah mendengar di negeri
ini bahwa putusan hakim itu berdasarkan hasil demo," kata Syarifuddin
Lakuy kepada awak media di Mataram, Senin (24/1/2022).
"Sekalipun langit itu runtuh,
putusan majelis hakim itu tidak tergoyahkan. Fiat Justitia Ruat Caelum—berarti hendaklah keadilan ditegakkan
walaupun langit akan runtuh. Ungkapan ini menegaskan bahwa dalam kondisi
segawat apapun, hukum harus tetap berdiri tegak tak tergoyahka," tandasnya.
Laporan:
Adi