Heintje Mandagi ditengah, diapit para Asesor Kompetensi Wartawan LSP Pers Indonesia |
Beberapa tahun belakangan ini insan pers terbelah menjadi dua kelompok. Wartawan konstituen dan non kostituen Dewan Pers. Bagi kelompok non konstituen sepertinya sudah lama sadar dan memilih memisahkan diri dari Dewan Pers dan menentang perlakuan diskriminatif dan kesewenangan Dewan Pers. Tak heran kelompok wartawan ini, termasuk penulis, bersikap menolak kebijakan Dewan Pers karena sudah paham betul selama bertahun-tahun telah dijadikan objek bisnis UKW ilegal Dewan Pers.
Lantas bagaimana dengan wartawan
kelompok konstituen Dewan Pers?
Kelompok ini sepertinya belum mau sadar
dari tidur panjangnya. Sudah ternina-bobokan oleh alunan merdu suara seirama
Dewan Pers dan para kaki-tangannya.
Sayangnya, kelompok ini masih saja
terlena dan bangga menyandang status konstituen Dewan Pers. Wajar saja karena
terbawa arus kemudahan meraih lembar rejeki saat berada di kancah peliputan.
Tidak ada yang salah pada kondisi ini.
Namun faktanya, tidak sedikit wartawan
TV dan Media Nasional terpaksa, maaf, menjual idealisme untuk sekedar menjaga
asap dapur dan memenuhi gaya hidupnya dengan menerima amplop dari nara sumber.
Sudah menjadi rahasia umum praktek itu terjadi di seluruh Indonesia.
Di satu sisi, kelompok ini, dimotori
Dewan Pers, selalu membuat stigma negatif terhadap wartawan kelompok non
konstituen dengan sebutan aba-abal dan menerima imbalan dalam menjalankan tugas
jurnalistik. Di sisi lainnya, kenyataan
di lapangan praktek yang sama juga berlaku bagi wartawan media mainstream.
Untuk membuktikan hal itu benar terjadi,
maka penulis sudah melakukan riset di lapangan berdasarkan besaran gaji
wartawan media mainstream. Hampir di seluruh Indonesia wartawan media
mainstream menggaji wartawan tidak lebih dari Upah Minimum Provinsi atau UMP
untuk level reporter. Bahkan ada banyak pula yang masih di bawah UMP.
Lebih miris lagi, sebagian besar
wartawan TV nasional yang bertugas di daerah tidak digaji bulanan namun hanya
berdasarkan jumlah perolehan berita yang ditayangkan medianya.
Sudah begitu tidak ada yang sadar bahwa
Undang-Undang Penyiaran sangat jelas mengatur tentang kesejaheraan karyawan
lembaga penyiaran swasta termasuk wartawan di dalamnya.
Pada Pasal 17 Ayat (3) Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, menyebutkan : “Lembaga Penyiaran Swasta wajib memberikan
kesempatan kepada karyawan untuk memiliki saham perusahaan dan memberikan
bagian laba perusahaan.” Pasal ini mengatur tentang kesejahteraan wartawan dan
karyawan TV wajib diberikan pembagian laba perusahaan. Bahkan pelanggaran
terhadap pasal ini akan dikenakan pidana penjara dan denda uang.
Pada Pasal 57 UU Penyiaran menyebutkan :
“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk penyiaran radio dan
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi,
setiap orang yang: a. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (3).”
Pada kenyataannya, hampir seluruh
wartawan yang bekerja di lembaga penyiaran swasta diduga tidak diberikan haknya
untuk mendapatkan pembagian laba perusahaan. Padahal berdasarkan riset AC
Nielsen, media Televisi paling besar mendapatkan porsi belanja iklan nasional yang tidak pernah kurang dari 100 triliun
rupiah setiap tahunnya sejak tahun 2015.
Seharusnya laba bersih triliunan rupiah
media TV sebagiannya wajib dibagi kepada wartawan dan karyawan TV sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Penyiaran. Jika itu dilanggar maka sanksi pidana 5 tahun dan denda 10 milyar
rupiah harus dikenakan kepada pimpinan perusahaan lembaga penyiaran swasta yang
tidak pernah memberikan kewajiban tersebut.
Sampai hari ini belum ada sikap dari
Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI untuk menegakan aturan pada
pasal 17 Ayat (3) dan Pasal 57 huruf a pada Undang-Undang Penyiaran ini.
Hak-hak wartawan dan karyawan tidak diperjuangkan meski ada aturan dan sanksi
pidana 5 tahun penjara dan denda 10 milyar rupiah bagi perusahaan yang
mengabaikannya.
Bagaimana dengan perusahaan pers? Dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers juga mengatur tentang
kesejahteraan wartawan. Meski tidak ada sanksi yang mengatur jika perusahaan
pers mengabaikannya.
Pada pasal 10 UU Pers jelas menyebutkan:
“Perusahaan Pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers
dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk
kesejahteraan lainnya.
Sayangnya wartawan konstituen Dewan Pers
yang selama ini berlindung dan bangga pada Dewan Pers tidak sadar dibiarkan
menjadi “Pengemis Sakti” dalam menjalankan profesinya. Pada kondisi ini penulis
teringat dengan judul lagu lawas “ Tidak ada dusta di antara kita”.
Apa dampak dari kondisi ini, solidaritas
pers nyaris mati di antara kedua kelompok ini. Ketika salah satu wartawan
anggota kelompok non konstituen menjadi korban kekerasan atau diskriminasi,
kelompok lainnya merespon dingin dan seolah hanya sekedar informasi biasa saja.
Akan halnya kejadian wartawan Marasalem
Harahap, Pimred media Laser News di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, tewas
ditembak oleh orang tak dikenal. Tapi peristiwa besar itu tidak diekspose
secara besar-besaran oleh media TV nasional. Seharusnya penembakan terhadap
wartawan yang mengancam kebebasan pers menjadi isu menarik untuk diangkat agar
mengundang reaksi Presiden RI Joko Widodo untuk bicara. Namun sayangnya, Media
TV Nasional enggan memberitakannya.
Karena jika terus dieksploitasi menjadi
isu nasional maka kebobrokan dewan Pers yang dulu pernah ikut terlibat
membiarkan korban dipenjara karena berita makin terungkap.
Media TV sepertinya sudah terbiasa lebih
tertarik memuat berita jika peristiwanya sodomi atau mutilasi anak secara
berulang-ulang, ketimbang mengungkap peristiwa penembakan wartawan yang
mengancam kebebasan pers dan menimbulkan ketakutan di kalangan wartawan yang
aktif melakukan sosial kontrol.
Belum lama ini juga ada peristiwa
menggemparkan di Gorontalo, seorang Kepala Dinas Kominfo yang menjabat Ketua
Asosiasi Kepala Dinas Kominfo se Indonesia digrebek polisi sedang berduaan
dengan isteri orang di dalam sebuah kamar kos dan diliput oleh media. Namun
sayangnya berita itu luput dari perhatian media TV nasional. Padahal, pelakunya
adalah ketua asosiasi berlevel nasional.
Usut punya usut, ternyata Dewan Pers
justeru termakan upaya menghalangi penyidikan kasus ini. Secara mengejutkan
Dewan Pers menerima laporan pengaduan dari Haris Tome sang pelaku yang
ditangkap polisi sedang berada di dalam sebuah kamar kos bersama isteri orang.
Lebih parah lagi, berita peristiwa penegakan hukum penggrebekan polisi yang
merupakan fakta peristiwa operasi justitia Polres Kota Gorontalo malah dinilai
dewan Pers sebagai pelanggaran kode etik jurnalistik yang dilakukan oleh
sejumlah media di Gorontalo.
Dewan Pers secara sewenang-wenang dan
tidak profesional menjatuhkan rekomendasi kepada seluruh media yang menjadi
teradu agar membuat permintaan maaf kepada pengadu Haris Tome yang nota bene
sebagai terlapor dugaan berzinah dan berselingkuh dengan isteri orang dan
kasusnya masih ditangani pihak Polres Kota Gorontalo. Padahal kasus tersebut
statusnya belum di SP3 meski penyidik menyatakan belum cukup bukti pada tahap penyelidikan.
Akibat dari rekomendasi Dewan Pers, tiga
media yang tidak bersedia memuat permintaan maaf dilaporkan oleh Haris Tome ke
polisi dengan tuduhan fitnah, menyebarkan berita hoax, dan mencemarkan nama
baiknya.
Bagaimana mungkin peristiwa penegakan
hukum yang dilakukan aparat kepolisian dituding sebagai berita hoax dan fitnah.
Seharusnya petugas polisi yang melakukan penggrebekan dan Kepala Polres yang
menjadi nara sumber berita itu dijadikan terlapor karena menyampaikan informasi
tersebut kepada wartawan saat dikonfirmasi.
Upaya kriminalisasi terhadap wartawan
ini pun luput dari perhatian media TV nasional. Padahal, isunya penting bahwa
pelapornya Haris Tome adalah Ketua Asosiasi Kadis Kominfo se-Indonesia yang
berusaha mengkriminalisasi wartawan.
Pembelaan terhadap pers yang dikiriminalisasi tidak ada sama sekali oleh
media nasional. Solidaritas mati karena wartawan Indonesia terbelah dua
kelompok.
Pada kondisi ini Dewan Pers gagal total
dalam menjalankan amanah sebagaimana diatur dalam UU Pers. Pasal 15 Ayat 1
menyebutkan : “Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan
kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen.”
Menyikapi hal ini, penulis perlu
mengingatkan kepada seluruh anggota dan pendukung Dewan Pers, kembalilah pada
jalan yang benar. Segera hentikan kerusakan sistem dalam pers Indonesia.
Undang-Undang tidak memberikan
kewenangan satu pun kepada Dewan Pers untuk membuat peraturan di bidiang pers.
Pasal 15 Ayat (2) huruf F yang selama ini digunakan Dewan Pers sebagai dasar
hukum nenerbitkan atau mengeluarkan peraturan di bidang pers sesungguhnya telah
mengambil hak dan kewenangan organisasi-organisasi pers sebagaimana diatur
dalam )asal 15 Ayat (2) huruf f UU Pers : “Memfasilitasi organisasi-organisasi
pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan
kualitas profesi kewartawanan.”
Kalimat di atas jelas kewenangn menyusun
peraturan pers ada pada organisasi pers. Anak SMU juga pasti paham dengan
kalimat ini. UU Pers hanya memberikan kewenangan kepada Dewan Pers untuk
menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.
Dan untuk memastikan tentang penafsiran
Dewan Pers yang keliru terhadap pasal penyusunan peraturan di bidang pers ini
maka dalam waktu dekat ini penulis bersama-sama dengan sejumlah tokoh pers akan
mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Tujuannya agar Dewan Pers
berhenti melakukan pembodohan publik dan membuat kebijakan dan tindakan yang
bertentangan dengan hukum dan mencederai kemerdekaan pers.(*)
Penulis
: Heintje G. Mandagie
Ketua
LSP Pers Indonesia / Ketu DPP SPRI