Menganalisa Visi – Misi 5 Cakades Campa

Semua Halaman

.

Menganalisa Visi – Misi 5 Cakades Campa

REDAKSI
Kamis, 05 Desember 2019



| BIMA – NTB | Sekadar analisa sebagai kerangka evaluasi. Dari penyelenggaraan kegiatan penyampaian Visi - Misi lima orang calon kepala desa Campa ini adalah sebagai salah satu rangkaian rute Pilkades serentak tanggal 16 Desember 2019 untuk 82 desa dari 191 desa di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.

Ada beberapa poin dari ketentuan umum aturan yang menurut saya perlu ditinjau kembali dalam mengembalikan hakikat demokrasi di Indonesia—yaitu;

Pertama; Aturan yang tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menguji keilmiahan dan keobyektifan program yang tertuang dalam visi - misi calon kepala desa dan bentuk diskusi serta perdebatan.

Kenapa ini dirasa perlu? Menurut saya, visi dan misi ini merupakan panduan dasar dalam penyusunan APB Des dan RPJMD yang akan dilaksanakan selama periode kepemimpinan, sehingga pengujian visi dan misi tersebut menjadi sarana yang urgen bagi masyarakat sebagai sasaran utama program kesejahteraan pada masing-masing calon—dalam hal ini apakan visi dan misi yang dipaparkan itu sesuai kebutuhan pokok masyarakat desa.

Kedua; Penyampaian visi dan misi harus ditargetkan sebagai sarana pendidikan politik bagi masyarakat desa agar menganalisa calon mana untuk dipilih sesuai program yang ditawarkan, dan bukan memilih dengan landasan keluarga, kerabat, serta saudara lebih-lebih memilih money politik.

Jargon pemilu damai, pemilu bersih, pemilu jujur dan transparan yang selalu dikampanyekan dalam bentuk slogan-slogan oleh lembaga penyelenggara Pemilu—baik itu KPUD, Bawaslu serta kententuan dari UU Pemilu, slogan dan ketentuan undang-undang berbanding terbalik dengan situasi obyektif masyarakat yang dogmatis terhadap pemahaman pemilihan umum.

Indikator masalah yang menjadi budaya di masyarakat disebabkan tidak terserapnya pemahaman masyarakat dengan aturan perundang-undangan di negeri ini. Lembaga penyelenggara Pemilu merupakan lembaga yang paling bertanggungjawab atas terputusnya edukasi politik dalam masyarakat yang mengakibtkan ketidak pahamnya masyarakat akan aturan pemilu yang belaku. Lembaga penyelanggara pemilu harus bekerja secara profesional terhadap tugas dan tanggungjawabnya sebagai lembaga yang menentukan maju dan mundurnya kesadaran masyarakat soal pemilihan umum.

Lembaga penyelenggara pemilu harus lebih intensif dalam mengadakan kegiatan seminar, diskusi publik serta sosialisasi aturan Pemilu kepada lapisan masyarakat akar rumput agar terwujudnya cita-cita luhur demokrasi politik di Indonesia.

Dua point di atas menjadi gambaran akan degradasinya demokrasi di Indonesia yang kurang memiliki nilai-nilai edukasi dan pendewasaan pemahaman pada masyarakat, dan lebih cenderung pada penciptaan situasi yang intoleran, memperuncing sentime horisontal antar masyarakat, serta memperdalam jurang pemisa hubungan kemanusiaan antara masyarakat awam.

Penulis: DHILON SITORUS 
| Aktivis kelahiran Desa Campa Kecamatan Madapangga, Kabupaten Bima-NTB |