IKADIN Akan Melakukan Praperadilan Atas Penanganan Kasus Tiga Pelajar SMAN 1 Madapangga

Semua Halaman

.

IKADIN Akan Melakukan Praperadilan Atas Penanganan Kasus Tiga Pelajar SMAN 1 Madapangga

REDAKSI
Jumat, 15 Februari 2019



MEDIANUSANTARA.ID—Persoalan pencurian laptop yang melibatkan tiga orang pelajar di SMAN 1 Madapangga, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, menjadi perhatian lembaga bantuan hukum dan praktisi hukum lainnya di NTB. Pasalnya, tiga orang pelajar asal sekolah tersebut, menjadi tersangka dan telah ditahan oleh penyidik Polsek Madapangga.

Meski ketiga pelajar itu akan menghadapi persiapan Ujian Nasional (UN) di SMAN 1 Madapangga, namun penyidik Reskrim Polsek Madapangga, terkesan belum mengambil langkah diversi yakni melakukan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Hal tersebut diketahui bahwa ketiga pelajar saat ini dilanjutkan penahan di Mapolres Bima Kabupaten, setelah empat hari ditahan di Mapolsek Madapangga.

Ketua DPC Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) Kota Bima Syarifudin Lakuy SH, menyampaikan rasa prihatin atas penahanan ketiga pelajar tersebut, apalagi mereka masih dibawah umur sehingga wajib dilaksanakan diversi.

Menurut Syarif, diversi wajib dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan itu diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun, dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Ini artinya merujuk pada syarat mengenai ancaman pidana dalam pelaksanaan diversi dan penahanan, bagi anak yang terhadapnya dilakukan diversi, terhadapnya tidak dilakukan penahanan.

Syarif menjelaskan soal diversi sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). UU SPPA secara substansial telah mengatur secara tegas mengenai keadilan restoratif. Karena diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.

Diversi secara tegas disebut dalam Pasal 5 ayat (3) bahwa dalam sistem peradilan pidana anak wajib diupayakan diversi. Pasal 8 ayat (1) UU SPPA juga telah mengatur bahwa proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif.

Langkah ini bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghidarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. (Pasal 6 UU SPPA).  "Ini semua sudah diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak," tandas Syarif.

Kemudian, lanjut Syarif, mengenai penangkapan, perlu diketahui bahwa hak anak dalam suatu proses peradilan pidana itu salah satunya adalah tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat sebagaimana disebut dalam Pasal 3 huruf g UU SPPA.

"Jadi, sudah merupakan hak setiap anak yang berada dalam suatu proses peradilan pidana untuk tidak ditahan kecuali penahanan itu merupakan upaya terakhir," jelasnya.

Terkait soal konsep penahanan terhadap anak, Syarif mengatakan, penahanan terhadap anak tidak boleh dilakukan dalam hal anak memperoleh jaminan dari orang tua/wali dan/atau lembaga bahwa anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana. Demikian yang disebut dalam Pasal 32 ayat (1) UU SPPA.

Syarif menambahkan, hal lainnya yang dapat saja terjadi sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (PERMA 4/2014), hakim anak wajib mengupayakan diversi dalam hal anak didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan didakwa pula dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk surat dakwaan subsidaritas, alternatif, kumulatif, maupun kombinasi (gabungan).

Ia mencontohkan, misalnya dakwaan subsidaritas Primair: Pasal 354 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (ancaman penjara 8 tahun), Subsidair: Pasal 351 ayat (2) KUHP (ancaman penjara 5 tahun), Lebih Subsidair: Pasal 351 ayat (1) KUHP (ancaman penjara 2 tahun 8 bulan).

Ditanya bagaimana dengan penahanannya?. Kata Syarif, pasal yang didakwakan memenuhi syarat penahanan, sedangkan di sisi lain diversi wajib dilaksanakan. Hal seperti ini tidak diatur lebih lanjut didalam PERMA. Namun demikian, karena diversi wajib dilaksanakan, maka dalam pemeriksaan di persidangan hakim dapat menggunakan kewenangannya untuk tidak melakukan penahanan terhadap anak.

"Dasar hukum ini yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak," terangnya.

"Pertanyaannya, sudahkan penyidik Polsek Madapangan melakukan diversi, sehingga  ketiga pelajar saat ini dilanjutkan penahanan di Mapolres Bima," tanya Syarif.

"Apalagi dalam kasus tersebut mereka (pelajar) dijerat dengan pasal 363 ayat 1 ke 3,4,5 KUHP. Apa saat di BAP, penyidik sudah menunjuk lembaga bantuan hukum atau pengacara untuk mendapingi mereka saat itu," lanjutnya.

Melihat perkembangan penanganan persoalan ini, Ketua DPC Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) Kota Bima ini, akan melakukan langkah Praperadilan. "Kita lihat nanti," tandasnya.(adi)