"Menyoal Puisi Ibunda Sukmawati"

Semua Halaman

.

"Menyoal Puisi Ibunda Sukmawati"

REDAKSI
Rabu, 04 April 2018


Assalamu'alaikum, War. Wab.
Salam sejatera buat kita semua. Sedikit beristirahat dari hiruk pikuk proses konsulidasi menyambut konfrensi cabang. Saya melihat sedang hist – hist nya puisi dari ibu Sukmawati Soekarnoputri yang dibacakan di acara 29 tahun Anne Avantie Indonesia Fashion Week, yang kemudian mendapat sambutan hangat dari pelbagai elemen masyarakat, mulai dari ahli agama, tukang becak anak SMA dan bahkan ketua umum PB HMI, juga membalas dalam bentuk puisi.

Ini mungkin salah satu prestasi ibu Sukmawati berkat beliau semua orang berpuisi. Kalau semua orang berpuisi saja alhamdulilah. Masalahnya, muncul ketika puisinya orang-orang ini di baca isinya hanya celaan buat ibu Sukmawati saja. Saya tidak sedang membela ibu Sukmawati, namun masalah yang saya lihat ini bukan tentang puisi ibu Sukmawati, tapi respon terhadap puisinya untuk membahasi. Itu saya kira harus terlibih dahulu kita mencoba menelaah bait puisi yang menjadi masalah di sini.

Yang pertama kira-kira berbunyi seperti ini: "Aku tak tahu syariat Islam, yang aku tahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah. Lebih cantik dari cadar dirimu. Di sini “aku” dalam puisi ibu Sukmawati mengaku tak paham syariat Islam yang dia paham itu konde".  Mungkin yang dia maksud pengikat rambut  Indonesia Konde tersebut. Kemudian Lebih cantik dari cadar diri mu. Nah.. ini dia masalahnya. Se-pendek pengetahuan saya, cadar ini bukan Syariat Islam, jadi ibu Sukmawati binggung memasukan perbadingan antara budaya Indonesia dengan budaya timur tengah. Tentu saja kita masih bisa membahasa terkait pernyatan saya ini, mungkin bisa mengacu pada salah satu jurna yang di terbitkan Kompas tahun 2002 oleh Ulil Abshar Abdallah berjudul “Menyegarkan kembali pemahaman Islam", di mana beliau menawarkan sudut pandang baru pada konteks penasfsiran Islam yang dapat memisakan mana unsur – unsur dalam Islam yang merupakan kreasi budaya setempat, dan mana yang merupakan nilai fundamental.

Beliau melihat jilbap atau cadar sebagai eksperesi budaya setempat, yang kemudian tidak perlu di tiru oleh penganut Islam Indonesia. Beliau berpedapat “jilbap pada intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum(public decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan manusia”. Lebih jauhnya beliau membahas tentang ayat dan hadis yang menyeruh pada penjagan martabat diri dengan menutup bagian-bagian tubuh.

Dengan sudut pandang yang di tawarkan ulil, saya melihat puisi ibu Sukmawati menjadi berubah makna, bukan maksud untuk menjelekkan (sarah) atau sebagainya, namun lebih ke usaha ekspresi seni  mengunakan presepsi umum yang kurang mempertimbangkan kondisi mental keagamaan bangsa Indonesia.

Saya jadi teringat penilaian dari sejarawan belanda yang merupakan seorang indonesianis  W.F. Wertheim berkata umat muslim Indonesia adalah mayoritas yang bermental minoritas. Bagaimana tidak, kita tanpa membedah dan menelaah. pokok ada yang menyangkut Islam dan syariatnya hajar abis-abisan maki-maki dia, halal darahnya. Dan hal ini bukan baru pertama kali terjadi, seingat saya sudah berulangkali. Bersyukur ibu Sukmawati tidak di masukan ke buih, dari panjangnya kemelut ini beredar sebuah puisi yang di bacakan ketua umum PB HMI Sadam Al-Jihad yang kira – kira menegahi dengan menyeruh pada ibu Sukmawati untuk berdiam diri karena Indonesia adalah Negara yang cinta Islam, Kristen, Katolik, Protestan dan Konghucu. Mungkin ini sebuah sikap yang baik belum tentu benar, karena benar dan baik adalah sebuah nilai yang terpisahkan?

Semoga kita semua selalu di Rahmati Allah SWT dan perjuangan kita di terimah olehnya sebagai amal jariah.
Wassalam.

*(Penulis:  Mahasiswa Universitas Negeri Malang, Wakid Attamimi